Berita86INDO-Salah seorang
tokoh masyarakat di Ciseeng, Bogor, Siti Nurmila dengan sukarela membantu
masyarakat di desanya yang membutuhkan pertolongan medis dengan mengantarkan ke
rumah sakit. Teh Mila, panggilan akrabnya, tergabung dalam sebuah komunitas
bernama Kader Gembol bersama seorang ibu lainnya.
Komunitas ini bertujuan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan medis sehingga tidak hanya bergantung pada paraji (dukun beranak). Tidak ada tarif yang ditetapkan untuk layanannya dan berkomitmen untuk tidak menerima imbalan apapun dari janda, anak yatim, atau orang tua.
Pada kehamilan ketiganya pada 2015, Teh Mila tetap berperan sebagai Kader Gembol demi membantu masyarakat. Bahkan saat ia mengalami kelelahan di tengah kehamilannya. Saat memasuki trimester ketiga, Teh Mila mengalami ketuban pecah dini yang disepelekan oleh dokter dan disarankan untuk lebih banyak meminum air.
Pada usia kandungan delapan bulan, cairan ketubannya benar-benar kering hingga Teh Mila meminta dokternya untuk melakukan operasi cesar. Sayangnya, bayinya meninggal lima jam kemudian.
Meski begitu, Teh Mila tetap melanjutkan aktivitasnya membantu masyarakat sebagai Kader Gembol hingga saat ini. Padahal, ia direncanakan untuk melahirkan pada akhir bulan ini, Maret 2019. Ia pun belajar dari pengalamannya untuk tidak mengantar dengan motor saat memasuki trimester ketiga dan lebih banyak beristirahat.
Teh Mila juga kini gencar menyebarkan manfaat dari penggunaan Sistem Informasi dan Komunikasi Jejaring Rujukan Maternal & Neonatal (Si Jari Emas). Aplikasi ini dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem rujukan di jejaring kabupaten/kota.
Selain itu, untuk menekan angka kematian ibu dan bayi di Kabupaten Bogor, sekitar 60 paraji atau Mak Berang dari 20 kelurahan di 6 kecamatan se-Kota Bogor secara bersama menandatangani deklarasi perjanjian antara Paraji dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor untuk tidak membantu persalinan kepada ibu hamil.
Para paraji berkewajiban membawa atau menginformasikan ibu hamil kepada bidan atau puskesmas setempat. Hal ini dilakukan untuk mengurangi tingginya angka kematian ibu dan bayi akibat terlambat penanganan. Paraji pun hanya boleh mendampingi dan merawat ibu setelah persalinan karena keahlian paraji adalah mengurut ibu ketika pra dan pasca melahirkan, serta mengurut bayi.
Upaya tersebut dilakukan karena angka kematian ibu dan bayi yang baru lahir di Indonesia terus meningkat. Menurut laporan World Bank tahun 2017, satu ibu meninggal setiap enam jam di Indonesia karena melahirkan. Sedangkan 19 bayi meninggal setiap seribu kelahiran.
Sementara menurut catatan detikHealth, Kementerian Kesehatan dalam paparan mengenai pencapaian program kesehatan pada tahun 2018 mengatakan cakupan pemeriksaan oleh tenaga kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan berkisar 73,50 persen, terbilang menurun dibandingkan 2017 yakni 83,67 persen. Adanya angka tersebut menyebabkan jumlah kematian ibu cukup tinggi.
"Angka kematian ibu masih tinggi, oleh karena itu di dorong untuk melahirkan di fasilitas kesehatan misal bidan atau dokter," tutur Menteri Kesehatan, Nila F Moeloek.
Angka kematian ibu dan anak juga masih terbilang tinggi di Kabupaten Bogor hingga mendapatkan sorotan karena termasuk tertinggi di Jawa Barat.
"Angka kematian ibu dan anak di Kabupaten Bogor termasuk tertinggi di Jawa Barat. Pada 2013 tercatat AKI 76, turun menjadi 70 pada 2014, turun lagi menjadi 64 pada 2015 dan 58 pada 2016, angkanya naik lagi di tahun 2017 menjadi 59 kasus. AKI dan AKB ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan," ungkap Bupati Bogor, Nurhayanti.
Kasubdit Kesehatan Maternal dan Neonatal Direktorat Kesehatan Keluarga Kemenkes, Nida Rahmawati pun mengatakan angka kematian ibu dan anak disebabkan oleh beberapa faktor.
"Dari hasil penelitian, ada beberapa penyebab kematian ibu hamil. Di antaranya pendarahan, hipertensi dan infeksi. Sedangkan kematian anak baru lahir disebabkan gangguan pernapasan, bayi dengan berat lahir rendah, infeksi, dan kelainan bawaan," ujarnya.
Komunitas ini bertujuan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan medis sehingga tidak hanya bergantung pada paraji (dukun beranak). Tidak ada tarif yang ditetapkan untuk layanannya dan berkomitmen untuk tidak menerima imbalan apapun dari janda, anak yatim, atau orang tua.
Pada kehamilan ketiganya pada 2015, Teh Mila tetap berperan sebagai Kader Gembol demi membantu masyarakat. Bahkan saat ia mengalami kelelahan di tengah kehamilannya. Saat memasuki trimester ketiga, Teh Mila mengalami ketuban pecah dini yang disepelekan oleh dokter dan disarankan untuk lebih banyak meminum air.
Pada usia kandungan delapan bulan, cairan ketubannya benar-benar kering hingga Teh Mila meminta dokternya untuk melakukan operasi cesar. Sayangnya, bayinya meninggal lima jam kemudian.
Meski begitu, Teh Mila tetap melanjutkan aktivitasnya membantu masyarakat sebagai Kader Gembol hingga saat ini. Padahal, ia direncanakan untuk melahirkan pada akhir bulan ini, Maret 2019. Ia pun belajar dari pengalamannya untuk tidak mengantar dengan motor saat memasuki trimester ketiga dan lebih banyak beristirahat.
Teh Mila juga kini gencar menyebarkan manfaat dari penggunaan Sistem Informasi dan Komunikasi Jejaring Rujukan Maternal & Neonatal (Si Jari Emas). Aplikasi ini dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem rujukan di jejaring kabupaten/kota.
Selain itu, untuk menekan angka kematian ibu dan bayi di Kabupaten Bogor, sekitar 60 paraji atau Mak Berang dari 20 kelurahan di 6 kecamatan se-Kota Bogor secara bersama menandatangani deklarasi perjanjian antara Paraji dan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor untuk tidak membantu persalinan kepada ibu hamil.
Para paraji berkewajiban membawa atau menginformasikan ibu hamil kepada bidan atau puskesmas setempat. Hal ini dilakukan untuk mengurangi tingginya angka kematian ibu dan bayi akibat terlambat penanganan. Paraji pun hanya boleh mendampingi dan merawat ibu setelah persalinan karena keahlian paraji adalah mengurut ibu ketika pra dan pasca melahirkan, serta mengurut bayi.
Upaya tersebut dilakukan karena angka kematian ibu dan bayi yang baru lahir di Indonesia terus meningkat. Menurut laporan World Bank tahun 2017, satu ibu meninggal setiap enam jam di Indonesia karena melahirkan. Sedangkan 19 bayi meninggal setiap seribu kelahiran.
Sementara menurut catatan detikHealth, Kementerian Kesehatan dalam paparan mengenai pencapaian program kesehatan pada tahun 2018 mengatakan cakupan pemeriksaan oleh tenaga kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan berkisar 73,50 persen, terbilang menurun dibandingkan 2017 yakni 83,67 persen. Adanya angka tersebut menyebabkan jumlah kematian ibu cukup tinggi.
"Angka kematian ibu masih tinggi, oleh karena itu di dorong untuk melahirkan di fasilitas kesehatan misal bidan atau dokter," tutur Menteri Kesehatan, Nila F Moeloek.
Angka kematian ibu dan anak juga masih terbilang tinggi di Kabupaten Bogor hingga mendapatkan sorotan karena termasuk tertinggi di Jawa Barat.
"Angka kematian ibu dan anak di Kabupaten Bogor termasuk tertinggi di Jawa Barat. Pada 2013 tercatat AKI 76, turun menjadi 70 pada 2014, turun lagi menjadi 64 pada 2015 dan 58 pada 2016, angkanya naik lagi di tahun 2017 menjadi 59 kasus. AKI dan AKB ini menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan," ungkap Bupati Bogor, Nurhayanti.
Kasubdit Kesehatan Maternal dan Neonatal Direktorat Kesehatan Keluarga Kemenkes, Nida Rahmawati pun mengatakan angka kematian ibu dan anak disebabkan oleh beberapa faktor.
"Dari hasil penelitian, ada beberapa penyebab kematian ibu hamil. Di antaranya pendarahan, hipertensi dan infeksi. Sedangkan kematian anak baru lahir disebabkan gangguan pernapasan, bayi dengan berat lahir rendah, infeksi, dan kelainan bawaan," ujarnya.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar