Berita86INDO - Pemerintah Aceh telah
membentuk tim percepatan penyelesaian sengketa PT Emas Mineral Murni (PT EMM)
melalui Keputusan Gubernur Nomor 180/821/2019, 15 April lalu. Formasi tim ini diisi
birokrat, akademisi dan praktisi.
Tim yang berjumlah 19
orang sudah mulai bekerja sejak surat keputusan itu terbit. Tim pun tengah
bergelut mencari cara menyelesaikan persoalan yang tengah menjadi sorotan ini.
"Ini kan baru
hitungan hari. Selanjutnya banyak agenda yang akan dikerjakan. Tim bekerja
secara kolektif," kata juru bicara Pemerintah Aceh, Wiratmadinata, Selasa (23/4).
Pembentukan tim ini
mendapat apresiasi. Pemerintah dinilai berkomitmen menindaklanjuti butir-butir
pernyataan menolak keberadaan PT EMM yang ditandatangi Plt Gubernur Aceh, Nova
Iriansyah 11 April lalu.
"Ini yang kami
tunggu selama ini, ini yang rakyat tunggu hari ini, walaupun secara fisik PT
EMM sudah angkat kaki dari Beutong Ateuh Banggalang, tetapi legitimasi izinnya
masih hidup, ke depan masih ada peluang mereka untuk melanjutkan rencananya
tersebut," kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Aceh, M Nur
Kata Nur, yang
terpenting saat ini mengawal proses penyelesaian sengketa yang dilakukan tim.
Karena tim tersebut dianggap menjadi ujung tombak bagi Pemerintah Aceh mencabut
izin perusahaan.
Salah satu upaya hukum
yang dapat dilakukan adalah segera melakukan sengketa kewenangan antara
pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat terkait kewenangan Pemerintah Aceh dalam
pengelolaan sumber daya alam.
"Surat pembatalan
rekomendasi izin PT EMM yang diterbitkan Plt Gubernur Aceh akan menjadi bukti
tambahan dalam langkah hukum lanjutan tersebut," tawarnya.
Sebagai catatan, Plt
Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, telah mencabut Rekomendasi Gubernur Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) Nomor 545/12161 tanggal 8 Juni 2006 tentang Pemberian
Rekomendasi Kuasa Pertambangan Eksplorasi kepada PT EMM.
Hal tersebut ditegaskan
Nova dalam surat Nomor 545/6320 perihal Pencabutan Rekomendasi Gubernur NAD
Nomor 545/12161, yang ditujukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) tanggal 18 April 2019.
Sementara itu, Alfian,
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) punya pandangan berbeda soal
pembentukan tim tersebut. Ketimbang membentuk tim yang notabene memerlukan
anggaran, lebih baik eksekutif dan legislatif langsung menemui presiden.
Apalagi, DPR Aceh telah
menyatakan sikap menolak PT EMM dalam paripurna November tahun lalu. Ini bisa
menjadi kolaborasi yang baik antarlembaga tertinggi tersebut.
"Langkah yang lebih
strategis dan tepat, saya rasa, Pemerintah Aceh dan DPRA duduk, ketemu dengan
presiden, meminta agar izin tersebut dicabut. Kendati itu kewenangan menteri,
secara politik, kita juga perlu mendengar sikap presiden," jelas Alfian.
Pemerintah Aceh dan DPR
Aceh bisa belajar dari pencabutan izin pertambangan di Blok Silo, Kabupaten
Jember, Jawa Timur. Pencabutan ini konsekuensi hasil sidang mediasi atas
gugatan Pemerintah Kabupaten Jember atas terbitnya Keputusan Menteri ESDM Nomor
1802 K/30/MEM/2018.
"Itu berkat
perjuangan rakyat dengan seorang bupati di sana ketemu dengan presiden. Saya
pikir, studi kasus itu dapat menjadi referensi kuat bagi Pemerintah Aceh,"
tutur Alfian.
Di sisi lain, Pemerintah
Aceh perlu menjelaskan ke publik, baik latar belakang, tujuan hingga kewenangan
dari tim penyelesaian sengketa tersebut. Ini juga sebagai landasan bersama
untuk mengawal kerja hingga capaiannya.
"Sehingga, di
proses perjalanan, Plt, tidak lepas tangan. Saya pikir, membentuk tim ini,
bukan hanya semata-mata sudah selesai secara tanggungjawab Pemerintah Aceh.
Jangan sampai menjadi hujatan publik, ketika nanti persoalan juga tidak
selesai," tutup Alfian.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar