Berita86INDO - Ahli Hukum Tata Negara
Mahfud MD berharap Presiden Indonesia terpilih agar segera merevisi
Undang-Undang Pemilu. Menurutnya banyak sekali hal yang perlu dievaluasi dari
Pemilu 2019.
"Siapa pun presidennya, apakah itu Pak Prabowo atau Pak Jokowi,
itu pada bulan Oktober membuat Prolegnas (Program Legilasi). Saya minta, tahun
pertama kami akan minta agar segera mengevaluasi dan merevisi UU Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilu, karena banyak hal yang harus ditinjau," ujar Mahfud
di gedung KPU, Rabu (24/4).
Mahfud menyebut, UU Pemilu saat ini masih banyak
harus dikoreksi. Dia mencontohkan kejadian banyak petugas KPPS meninggal dunia
karena kelelahan.
"Harus ditinjau lagi yang dimaksud Pemilu
serentak itu apa sih? Apakah harus harinya sama? Atau petugas lapangan harus
sama, sehingga tidak bisa berbagi beban? Atau bagaimana? Itu kita evaluasi
lagi. Ataukah harinya bisa dipisah, atau panitia di tingkat lokal, panitianya
bisa dipisah, tetapi dengan kontrol yang ketat," ujar dia.
Mantan Ketua MK itu juga meminta presiden terpilih
segera mengatur sistem Pemilu lebih sehat. "Sistem Pemilu itu apakah mau
proporsional terbuka atau tertutup, gitu, karena ini menjadi masalah, menjadi
yang sekarang ini, di mana sistem mencoblos nama dan partai itu jual-beli suara
di internal partai banyak terjadi. Itu dilakukan di antara mereka sendiri
saling jual-beli begitu, dan itu tidak sehat bagi demokrasi kita,"
ujarnya.
Mahfud pun berharap syarat 20 persen presidential
threshold perlu dikaji ulang. Ia menilai angka itu terlalu tinggi.
"Perlu dipikirkan UU pemilihan berikutnya
tentang presidential threshold. Saya setuju threshold harus ada tapi apa harus
20 persen? Nah itu perlu ditinjau melihat pengalaman sekarang, polarisasinya
begitu tajam dan panas," katanya.
Mahfud juga mengusulkan presidential threshold 20
persen bisa disamakan dengan parlementary threshold 4 persen. "Kalau saya
usul treshold harus ada, tetapi memakai parlementary treshold misalnya 4
persen. Partai yang punya kursi di DPR berdasarkan pemilu sebelumnya, berhak
mengajukan calon presiden dan wakil presiden pada pemilu yang berjalan,"
tandasnya.
Mahfud menambahkan tudingan yang diarahkan kepada
KPU adalah hal yang sudah terprediksi dan merupakan ritual setiap Pemilu.
"Tudingan selalu ada. Ritualnya itu, KPU diserang terus sampai nanti
tanggal 23 Mei, serangan akan berbalik tadinya ke KPU jadi ke MK. Gitu aja
ritualnya," kata Mahfud.
Mahfud memastikan, tanggal 23 Mei mendatang atau
saat KPU mengumumkan secara resmi presiden terpilih, maka serangan akan
berbalik kepada MK. "Lihat aja nanti. Tuduhan hakim MK disuap lah, dia
berpihak sama ini lah, itu nanti akan muncul," ujar dia.
Menurut Mahfud, segala tuduhan yang biasanya
diarahkan seperti hakim MK menerima suap adalah ritual setiap lima tahun
sekali. "Pengalaman saya bertahun tahun begitu. Itu ritual politik,"
ucapnya
Sementara itu, terkait tudingan Pemilu memakan
banyak biaya namun masih ada kecurangan dan petugas yang meninggal dunia,
Mahfud menilai dalam demokrasi memang dibutuhkan banyak biaya.
"Demokrasi memang harus ada biayanya, kalau
mau praktis ya tidak usah menyelenggarakan demokrasi. Pakai kerajaan aja
selesai semua enggak usah pakai Pemilu. Kalau diganggu dengan tudingan tersebut
ya biasa namanya juga demokrasi," tandasnya.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar